Senin, 23 September 2013

AKU MENANGIS UNTUK ADIKKU

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis disekelilingku kelihatan membawanya, Aku mencuri uang 20 ribu dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut didepan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. “Siapa yang mencuri uang di laci itu ?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, ”Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul !”. Dia mengangkat tongkat bambu itu dengan tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, ”Ayah, aku yang melakukannya,,,,,,,,,,,,! “. Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus memukulnya sampai beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas kursi dan berkata, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? … Kamu layak dipukul,,,! Kamu pencuri tidak tahu malu!”. Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku, tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, ”Kak, jangan menangis lagi. Semuanya sudah terjadi.” Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 15 tahun. Aku berusia 18. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas.. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik…”
Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas. Sambil berkata, ”Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus ?”. Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, ”Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, saya cukup membaca banyak buku saja”. Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya sambil berkata, ”Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya?. Bahkan jika saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!”. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, ”Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya, kalau tidak? ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini”. Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku, ”Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimmu uang”. Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 18 tahun. Aku berusia 21. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas), dan saya pun tinggal di sebuah asrama di kota. Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan. ”Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!”. Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, ”Mengapa kamu tidak bilang pada temanku kalau kamu adalah adikku?”. Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu ? Apa mereka tidak akan menertawakanmu? “. “Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku membersihkan debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apapun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu”. Tahun itu, ia berusia 20. Aku berusia 23. Pertama Kali aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti anak kecil di depan ibuku. “Bu,siapa yang membersihkan rumah ini!” katanya, sambil tersenyum, ”Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu”. Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, beribu-ribu jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit salep pada lukanya dan membalut lukanya. aku bertanya, ”Apakah itu sakit?”. ”Tidak, tidak sakit. kakak, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja, dan”. Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun kewajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26. Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Aku mengundang keluargaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, ”Kak, jaga mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini”. Istriku menjadi direktur pabrik. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Istriku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, Istriku menggerutu, ”Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”. Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. ”Pikirkan kakak ipar… saya tidak pantas jadi kayak gitu, apalagi saya tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?”. Mata Istriku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”. ”Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun sebelah. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, ”Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?”. Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “”Kakakku”. Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. ”Ketika saya pergi sekolah SD, ia juga bersekolah namun di dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sendoknya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya”. Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah ku ucapkan keluar bibirku akhirnya keluar juga, ”Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku”. Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai. By : “ Mr.iwanafandi@yahoo.co.id < santri putra nurul huda > < pamekasan >

Comments

0 komentar: